Dari Sebuah Komunitas ‘Bocah Alasan’ #3

Kakiku masih menapak. Menyusuri kota ini dari waktu ke waktu tidak membuatku jenuh. Tidak juga lelah. Tertantang. Globalisasi melukiskan banyak paradoks di sini. Bukan hanya soal ekonomi, tapi budaya dan sosial. Ya, globalisasi menjadikan skenario kehidupan di tempat ini menjadi semakin “lucu”. Paradoks ini semakin lama semakin menarik untuk didongengkan. Nanti kalau sudah tua, aku berniat mendongengkan cerita ini buat cucu-cucuku. Ya…, biar mereka bermimpi jadi presiden Indonesia.

Ngomong-ngomong soal dongeng, aku teringat satu babak menarik ketika kami wawancara dengan seorang warga. Ibu Sayem (bukan nama sebenarnya), seorang petani yang baru saja kena pembebasan lahan. Desa yang dia tinggali saat ini menjadi incaran strategis perusahaan minyak asal Amerika itu. kenapa? Karena terletak dekat sumur minyak, ya tentu jelas bin fardlu ain, akan banyak lahan warga yang dibeli untuk keperluan pembangunan fasilitas produksi dan infrastruktur penunjang. Termasuk sawah Bu Sayem.

Awalnya aku mengira, kalau Bu Sayem bakal cerita seperti kebanyakan orang yang diwawancara kemarin. Mereka yang kena pembebasan lahan pasti seneng. Dapat uang banyak dari jual sawah. Serasa jadi orang kaya baru. Beli ini beli itu. Bangun ini, bangun itu. Bagi mereka proyek migas ini sudah seperti mesin ATM yang bisa ngasih mereka uang secara instan. Girang? Tidak bagi Bu Sayem. Sawah dibebaskan tidak membuat petani tua itu senang. Tambah susah, itu yang dikeluhkannya. Sebenarnya ia gak merelakan tanahnya dibebaskan untuk proyek migas tersebut. Bingung.

“Mau kerja dimana lagi Mbak?” Keluhnya. “Saya ini gak pernah kenal sekolah. Bisanya Cuma tani. Suami tani. Lha kalo sawah satu-satunya dijual, gimana bisa kerja?”

Kata Bu Sayem, sawah disekitarnya udah pada dibebaskan. Sawahnya terjepit. Mau dijual, gak tega. Kalo gak dijual susah juga, wong kanan kiri udah pada dibuldoser. Kalo gak punya sawah mau kerja dimana. Beli sawah lagi, disekitar sini udah pada mahal. Kalo beli diluar, semakin susah kalo buat petani miskin seperti Bu Sayem ini. Apalagi tiap hari rumahnya disowani orang-orang asing. Merayu agar ia segera membebaskan lahannya. Ya mau gak mau, sawahnya dijual juga. Pokoknya menurut dia, proyek migas di desanya ini malah bikin susah wong cilik.

“Tapi jalan-jalan semakin bagus dan sekolah banyak yang diperbaiki kan Bu?”

“Saya ndak ngrasa senang juga. Wong butuh saya cuma gimana bisa kerja, biar tetep makan. Apa kalo lihat jalanan dan sekolah pada bagus, wong cilik kayak kami ini udah bisa kenyang?”

Aku tersenyum. Sungguh pemikiran yang lugu sekaligus lucu. Tapi logis juga, orang semacam Bu Sayem ini yang gak punya pendidikan apa-apa, yang hanya bisa tani, pasti ngomong orientasi ekonominya ya ‘bagaimana perut mereka kenyang’. Cukup simple. Ekonomi adalah urusan perut. Ia gak akan peduli soal pembangunan. Ia gak akan peduli soal mimpi ladang minyak. Apalagi kalo mereka ditanya soal globalisasi atau perusahaan multinasional semacam “Ex**n. Bisa nangis jungkir balik mereka kalo dipaksa menjelaskan istilah-istilah itu.

Yang mereka tau, saat ini di desa mereka ada tambang minyak sehingga banyak orang asing dan kendaraan yang sliweran setiap hari. Bahkan mereka gak bisa membedakan mana orang LSM, spekulan tanah, pejabat pemda, atau kontraktor. Di pikiran mereka, orang-orang asing yang berurusan dengan proyek migas itu ya orang perusahaan. Mendatangi mereka untuk kepentingan perusahaan.  Padahal banyak pula pendatang dari lembag-lembaga lainnya. Gak peduli pake nama lembaga apa. Ironis.

Sebenarnya orang-orang seperti Bu Sayem ini banyak, tidak hanya satu. Mereka ini adalah kelompok yang terpinggirkan dari industri migas. Terkadang mereka iri dengan orang-orang yang lebih beruntung. “Yang lain bisa memanfaatkan dana pembebasan sawah untuk beli motor, beli mobil, bangun rumah. Tapi kalo kami ya lebih milih beli sawah lagi, meskipun jauh dari rumah. Yang penting bisa kerja, biar bisa nguripi anak putu (menghidupi anak cucu, red.)”

Itu tadi cara berpikir yang rasional bahkan tradisional dari para petani miskin seperti Bu Sayem ini. Mereka memang tidak bisa mengakses banyak keuntungan dari keberadaan perusahaan multinasional di desanya. Ya sebabnya gak bisa memanfaatkan peluang. Padahal masyarakat lainnya cukup cerdas membaca peluang proyek migas ini dengan menjadi tenaga kontraktor, membuka usaha kios atau membangun rumah untuk disewakan kepada pegawai perusahaan. Sebagian besar mereka cukup sukses meraup keuntungan. Tinggal bagaimana masyarakat memanfaatkannya. Ya ini paradoksnya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Orang liberal mungkin akan menyalahkan Bu Sayem yang terus saja miskin karena hanya menggantungkan hidupnya pada lahan. Tapi dibalik kepolosan cara berpikir tradisionalnya, ada pula hal menggelitik yang membuatku heran. Keluarga Bu Sayem yang berkediaman hanya berjarak beberapa ratus meter dari lokasi pengeboran, katanya sering terkena dampak kebocoran gas. Entah nyata atau fiktif. Masyarakat sekitar seringkali menuntut kompensasi, sudah diberikan beberapa kali tapi beberapa mereka gak pernah puas. Pengennya kompensasi diberikan dalam bentuk uang tunai setiap bulan. Ya itu tadi, orang jadi materialistis. Yang mereka yakini, kesejahteraan ekonomi mereka diukur dari seberapa banyak perusahaan itu memberikan uang tunai kepada masyarakat yang tidak punya kemampuan apa-apa seperti ia. Semakin susah menjalani hidup di ladang minyak.

Tidak menyalahkan siapa pun, baik perusahaan, masyarakat atau pun pemerintah. Yang jelas ini hanya sebuah pelajaran yang dapat membuka mata kita tentang secuil paradoks dari realitas globalisasi di Indonesia.

*Catatan perjalanan para peneliti di Bumi Malowopati

Tim : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Defirentia One M, Arief Bachtiar D., Hestutomo Restu K.

Mahasiswa Hubungan Internasional, Fisipol, UGM

Tinggalkan komentar